BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bank, tabungan, asuransi dan riba merupakan hal yang tidak dapat kita pisahkan
dalam kehidupan sehari-hari. Seperti halnya riba, tak jarang kita lihat orang
yang berada disekitar kita sangat banyak yang mempraktik riba bahkan mungkin
kita sendiri juga melakukannya. Hal seperti ini terjadi karena kurangnya
pengetahuan tentang ilmu agama yang kita miliki.
Begitu juga dengan bank dan asuransi, dua hal ini sudah sangat lazim kita
gunakan tapi kita tak pernah tahu bagaiman agama memandang hal ini, bagaimana
hukumnya, apakah boleh di pergunakan atau tidak, dan hal lainnya.
Oleh karena itu untuk
memahami lebih lanjut mengenai Bank, Tabungan, Asuransi dan Ribaakan kami paparkan dalam makalah kami ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Bank dan hukum Bank?
2.
Apa pengertian Tabungan dan asuransi?
3.
Apa pengertian Riba dan hukum riba?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bank
Bank adalah
lembaga keuangan yang menyediakan jasa-jasa dalambidang keuangan.[1]
Fungsi bank adalah menerima deposito, menerima tabungan, memberi pinjaman,
menyetorkan uang dan menjual jasa-jasa
perbankan lainnya. Misalnya, jual beli kertas berharga, transaksi
devisa, penukaran mata uang dan sebagainya. Karena fungsi bank yang demikian
itu, maka bank tidak bisa dipisahkan begitu saja dari dunia usaha maupun
perekonomian suatu negara.
1. Hukum Bank
Dari hasil ijtihad para ulama hukum bank, terdapat perbedaan
pendapat. Apabila kita simpulkan ada tiga macam status hukumnya, yaitu:[2]
a)
Haram, dengan alasan bank itu pasti menerapkan praktik bunga, sebab
bank tidak dapat berkembang tanpa bunga, sementara ajaran islam melarang sistem
bunga.
b)
Mubah, dengan alasan dalam suatu negara bank merupakan kebutuhan
yang tidak dapat dielakan. Oleh karena itu, pelaksanaan bank hukumnya boleh
atau mubah.
c)
Mutsyabiahat atau diragukan haram atau tidaknya, karena dari satu
segi bank merupakan kebutuhan mendesak dalam kehidupan masyarakat maupun
negara, sementara itu dari segi lain sangat sulit menghindarkan praktik bunga
dari bank. Oleh karena itu, hukum bank belum jelas atau diragukan kebolehannya
atau keharamannya. Disana ada kesamaan (mutasyabih) yaitu ada unsur kebolehan
dan ada pula keharaman.
2. Fungsi Bank
Diantara fungsi bank yaitu:
a)
Menjadi sentral peredaran uang dalam jumlah banyak yang diperlukan
masyarakat dan negara.
b)
Tempat tukar-menukar mata uang dan pemindahan pembukuan.
c)
Untuk mengawasi peredaran uang, jumlah volumenya, serta
mengendalikan inflasi.
d)
Menjadi tempat penyimpanan uang yang dianggap paling aman, baik
bagi negara maupun masyarakat.
e)
Berfungsi sebagai pengiriman dan pembayaran bagi pedangang dalam
jumlah besar.
3. Macam-macam Bank
Apabila ditinjau dari segi penerapan sistem bunganya, bank dapat
dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:[3]
a)
Bank konvensional, yaitu bank-bank yang banyak kita jumpai sekarang
yang menerapkan sistem bunga.
b)
Bank Islam (Syariah), yaitu bank yang dijalankan menurut aturan
syariat islam, tidak menerapkan sistem bunga, tetapi dengan sistem perekonomian
islam, seperti dengan sistem wadi’ah, mudarabah, musyarakah, dan sebagainya.
Apabila ditinjau dari segi operasionalnya ada beberapa jenis bank,
seperti:
a)
Bank Sentral. Mutlak milik negara dan sebagai induk seluruh bank.
Berwenang menentukan seluruh kebijakan perbankan, mengeluarkan uang dan menjaga
kemantapan nilainya, serta memberi kredit kepada negara serta sebagai juru
bayar pemerintah. Di Indonesia dinamakan Bank Indonesia (BI).
b)
Bank Umum, seperti Bank Bumi Daya, Bank Nasional Indonesia (BNI)
1946, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Pemerintah Daerah (BPD), dan lain
sebagainya.
c)
Bank Swasta Nasional, seperti Bank Umum Nasioanal.
d)
Bank Pembangunan, seperti BAPINDO.
e)
Bank Tabungan, seperti BTN.
f)
Bank Asing (milik luar negeri).
B. Pengertian Tabungan Syariah
Tabungan Syariah terbagi menajdi dua macam, yaitu tabungan wadiah
dan tabungan mudharabah.
1. Tabungan Wadiah
Tabungan wadiah merupakan tabungan yang dijalankan berdasarkan akad
wadiah, yakni titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat sesuai
dengan kehendak pemiliknya.[4]
Berkaitan dengan produk tabungan wadiah, Bank Syariah menggunakan akad wadiah
yad adh-dhamanah. Dalam hal ini, nasabah bertindak sebagai penitip yang
memberikan hak kepada Bank Syariah untuk menggunakan atau memanfaatkan dana
atau barang tersebut. Sebagai konsekuensinya, bank bertanggung jawab terhadap
keutuhan harta titipantersebut serta mengembalikannya kapan saja pemiliknya
menghendaki. Disisi lain, bank juga berhak sepenuhnya membatasi atas keuntungan
dari hasil penggunaan atau dana atau barang tersebut.
2. Tabungan Mudharabah
Yang dimaksud dengan tabungan mudharabah adalah tabungan yang
dijalankan berdasarkan akad mudharabah. Dalam hal ini, Bank Syariah bertindak
sebagai mudharib (pengelola dana), sedangkan nasabah bertindak sebagai shahibul
mal (pemilik dana).[5]
Bank Syariah dalam kapasitasnya sebagai mudharib, mempunyai kuasa untuk
melakukan berbagai macam usaha yang tidk bertentangan dengan prinsip syariah
serta mengembangkannya, termasuk melakukan akad mudharabah dengan pihak lain.
Namun, disisi lain, Bank Syariah juga memiliki sifat sebagai seorang wali
amanah, yang berarti bank harus berhati-hati atau bijaksana serta beritikat
baik dan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang timbul akibat kesalahan
atau kelalaiannya.
Dari hasil
pengelolaan dan mudharabah, Bank Syariah akan memebagi hasilkan kepada pemilik
dana sesuai dengan nisbah yang telah disepakati dan dituangkan dalam akad
pembukaan rekening. Dalam mengelola dana tersebut, bank tidak bertanggung jawab
terhadap kerugian yang bukan disebabkan oleh kelalaiannya. Namun, apabila yang
terjadi adalah kesalahan, bank bertanggung jawab penuh terhadap kerugian
tersebut.
Dalam mengelola
harta mudharabah,bank menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan
nisbah keutungan yang menjadi haknya. Disamping itu, bank tidak diperkenankan
mengurngi nisbah keuntungan nasabah menabung tanpa persetujuan yang
bersangkutan. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bagi hasil tabungan
mudharabah dibebankan langsung kerekening tabungan mudharabah pada saat perhitungan
bagi hasil.
C. Pengertian Asuransi
Kata asuransi
berasal dari bahasa belanda Assurantie, yang dalam hukum belanda disebut
Verzekering, yang artinya pertangguangan.[6]
Menurut C. Arthur Wiliams Jr, asuransi adalah perlindungan terhadap risiko
finansial oleh penanggung terhadap tertanggung.
Secara baku definisi asuransi di Indonesia telah ditetapkan dalam
UU RI No.2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian. Asuransi atau pertangguangan
adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dimana pihak penganggung
mengingatkan diri terhadap tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau
kehilangan peruntungan yang di harapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin di derita tertanggung yang tmbul dari suatu peristiwa yang
tidak pasti atau untuk memberikan satu pembayaran yang di dasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
1. Jenis-jenis Asuransi
Pada bab III pasal 3 UU. NO.2 Tahun 1992 dijelasakan tentang
jenis-jenis bidang usaha perasuaransian di Indonesia. Dalam pasal tersebut
dijelaskan antaranya:
a.
Asuransi kerugian, yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa
dalam penganggualangan risiko atas kerugian, kehilangan, manfaat dan tanggung
jawab hukum keada pihak ketiga yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
b.
Asuransi jiwa, yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa dalam
pertanggungan yang di kaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang
dipertanggungkan.
c.
Re-asuransi, yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa dan
pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi
kerugian diperusahaan asuransi jiwa.
2. Bentuk-Bentuk Asuransi
Bentuk-bentuk asuransi konvensional secara garis besar, dapat
dibedakan sebagai berikut:
a.
Asuransi timbal balik (Assurance Mutualle).
Bentuk asuransi ini juga sering di sebut sebagai asuransi saling
menjamin atau menanggung, yaitu suatu perjanjian perkumpulan di antara para
peserta asuransi.
b.
Asuransi ganti kerugian (Schade Verzekering).
Maksud asuransi ini adalah suatu perjanjian yang mana si
penganggung berjanji akan mengganti kerugian seseorang peserta.
c.
Asuransi sejumlah uang (Sommen- Verzikering).
Asuransi sejumlah uang adalah suatu perjanjian asuransi yang mana
si penagnggung berjanji akan membayar seseorang yang menjadi tertanggung,
dimana jumlahnya telah ditetapkan terlebih dahulu.
d.
Asuransi premi (premi- Verzekering).
Maksud dari asuransi ini adalah suatu perjanjian asuransi antara
perusahaan asuransi disatu pihak sebagai penanggung dan peserta asuransi
sebagai tertanggung dilain pihak.
e.
Asuransi saling menanggung (Onderlinge Verzekering).
Hal yang bisa di pahami dari asuransi saling menanggung adalah
suatu persetujuan perkumpulan yang terdiri dari para pihak penanggung dan
tertanggung selaku anggota.
f.
Asuransi wajib
Dikatakan wajib karena ada salah satu pihak yang mewajibkan kepada
pihak lain dalam mengadakan perjanjian.[7]
3. Asuransi Dalam Sistem Islam
dalam bahasa arab
asuransi disebut Al-Ta’mim, penanggung disebut al-muammim, sedangkan
tertanggung di sebut al-muamman lahu atau musta’min. Al-ta’min di ambil dari
kata amana memiliki arti perlindungan, keamanan, dan bebas dari rasa takut.
Menurut Husain
Hamid Hisan, asuransi atau al-ta’mim adalah sikap ta-awun yang telah diatur
dengan sistem yang sangat rapi antara sejumlah besar manusia, dalam
mengantisipasi suatu peristiwa. Jika sebagian mereka mengalami peristiwa, maka
semuanya saling menolong dalam menghadapi peristiwa tersebut dengan pemberian
bantuan oleh masing-masing peserta. Dengan pemberian bantuan tersebut, maka
dapat menutupi kerugian yang dialami oleh peserta yang tertimpa musibah. Dengan
demikian, asuransi atau al-ta’mim adalah ta’awun yang terpuji yaitu saling
tolong menolong dalam berbuat kebajikan dan takwa. Dengan al-ta’mim, mereka
saling membantu antar sesama dan menghinlangkan rasa khawatir terhadap bahaya
atau mala petaka yang merugikan mereka.
Pendapat Musthafa
Ahmad Zarqa yang dikutip oleh Husain Hamid Hisan mengatakan, bahwa asuransi
yang dipahami oleh ulama fiqih adalah sebuah sistem ta’awun dan Tadhammun yang
bertujuan untuk menghilangkan kerugian-kerugian peserta dari
peristiwa-peristiwa atau musibah.[8]
Pengertian
asuransi syari’ah seperti diatas, makin terasa nilainya jika memperhatikan
firman Allah al-Maidah ayat 2:
(#qçRur$yès?urn?tãÎhÉ9ø9$#3uqø)G9$#ur(wur(#qçRur$yès?n?tãÉOøOM}$#Èbºurôãèø9$#ur.
Artinya : Tolong menolong lah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan
janganlah kamu tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.
4. Pengertian Riba
Riba dari segi
bahasa berarti Ziyadah (kelebihan) atau tambahan. Sedangkan menurut istilah
syara’, berarti tambahnya harta (dalam pelunasan hutang) tanpa imbalan jasa
apapun.[9]
Dalam al-Qur’an pengertian riba dipakai untuk istilah bunga. Tetapi dari segi
ekonomi riba berarti surplus pendapatan yang diterima dari debitur sebagai
imbalan karena menangguhkan untuk waktu atau periode tertentu.
Banyak
masyarakat berargument bahwa riba yang telah diharamkan oleh islam di dalam
al-Qur’an dan hadist, tidaklah identik dengan bunga bank. Dalam arti, bunga
bank bukanlah bagian dari riba yang telah diharamkan oleh islam. Tidak
diragukan lagi, al-Qur’an telah mengharamkan riba dalam 4 ayat yang berbeda,
ayat yang pertama turun di mekkah (30:39) dan 3 ayat yang lainnya diturunkan di
madinah (4:161, 3:130-2, dan 2:275-81). Pada tahap pertama, al-Qur’an menolak
anggapan bahwa riba yang pada zhahirnya seolah-olah menolong mereka yang
memerlukan, sebagai suatu perbuatan untuk mendekatkan diri atau bertaqarrub
kepada Allah. Allah Swt berfirman dalam surat ar-Rum ayat 39:
!$tBurOçF÷s?#uä`ÏiB$\/Íh(#uqç/÷zÏj9þÎûÉAºuqøBr&Ĩ$¨Z9$#xsù(#qç/ötyYÏã«!$#(!$tBurOçF÷s?#uä`ÏiB;o4qx.ycrßÌè?tmô_ur«!$#y7Í´¯»s9'ré'sùãNèdtbqàÿÏèôÒßJø9$#ÇÌÒÈ
Artinya: Dan, sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
menambah harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.
Dan, apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat
gandakan (pahalanya).
Riba terbagi menjadi dua macam:
a.
Riba al-Nasiah
kata Nasiah berasal dari kata dasar (fi’il Madli) Nasa’a yang
bermakna menunda, menangguhkan, menunggu, atau merujuk pada tambahan waktu yang
diberikan kepada peminjam untuk membayar kembali pinjamannya dengan memberikan
tambahan atau nilai lebih. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Riba An-nasiah
itu sama atau identik dengan bunga atas pinjaman. Kata riba dengan makna ini
digunakan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 275. Allah berfirman:
úïÏ%©!$#tbqè=à2ù't(#4qt/Ìh9$#wtbqãBqà)twÎ)$yJx.ãPqà)tÏ%©!$#çmäܬ6ytFtß`»sÜø¤±9$#z`ÏBÄb§yJø9$#4y7Ï9ºsöNßg¯Rr'Î/(#þqä9$s%$yJ¯RÎ)ßìøt7ø9$#ã@÷WÏB(#4qt/Ìh9$#3¨@ymr&urª!$#yìøt7ø9$#tP§ymur(#4qt/Ìh9$#4`yJsù¼çnuä!%y`×psàÏãöqtB`ÏiB¾ÏmÎn/§4ygtFR$$sù¼ã&s#sù$tBy#n=yÿ¼çnãøBr&urn<Î)«!$#(ïÆtBury$tãy7Í´¯»s9'ré'sùÜ=»ysô¹r&Í$¨Z9$#(öNèd$pkÏùcrà$Î#»yzÇËÐÎÈ
Artinya: “Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil
riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.
Riba jenis ini
juga disebut dengan riba al-Qur’an (riba yang disebut secara spesifik dalam
al-Qur’an) atau riba ad-Duyun (riba atas pinjaman).[10]
Kemudian dari
segi hutang piutang dari jual beli, Rasululllah Saw. Bersabda:
عن اسامة بن زيد ان النبي ص م قال : انما
الربا في النسيئة.
Artinya:
“ Dari Usman bin Zaid, katanya Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya
Riba itu bisa terjadi pada jual beli secara hutang (kredit).” (HR. Muslim)[11]
b.
Riba Fadhal.
Menurut Ibnu Qayyum, riba Fadhal adalah riba yang kedudukannya
sebagai penunjang diharamkannya riba nasiah. Dengan kata lain bahwa riba fadhal
diharamkan supaya seseorang tidak melakukan riba nasiah yang sudah jelas
keharamannya. Maka Rasul melarang menjual emas dengan emas, perak dengan perak,
gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, kecuali dengan sama banyak secara
tunai. Barang siapa yang menambah atau minta tambah, masuklah ia kepada
riba. Yang mengambil dan yang memberi sama hukumnya (HR. Bukhari).
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bank-bank konvensional masih mempraktikkan riba di dalamnya, misalnya masih
ada sistem bunga. Sedangkan bank syariah tidak ada praktik riba.
Menabung sangat dianjurkan dalam agama Islam asalkan saja jauh dari prakik
perbungaan.
Ada empat kelompok ulama yang menanggapi hukum asuransi. Di antaranya :
kelompok yang mengharamkan, kelompok yang memperbolehkan, kelompok yang
memperbolehkan asuransi tetapi dalam hal sosial saja, kelompok yang
mengatakan asuransi itu syubhat.
Riba adalah bentuk tambahan pembayaran tanpa adanya ganti/ imbalan karena
adanya transaksi utang –piutang dan pinjam-meminjam.
Hukum riba secara mutlak adalah haram.
B. Saran
Mengingat begitu besar kekejian yang dilakukan akibat riba, maka hendaknya
jauhilah riba, karena riba itu juga merupakan perbuatan zalim.
Untuk menghindari adanya praktik riba, tabung
lah uang di bank syariah, karena bank syariah merupakan bank yang menjalankan
operasinya sesuai dengan syariat islam.
Berprilaku hemat lah karena hemat adalah anjuran
agama. Salah satu cara berhemat adalah dengan menabung uang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Syukur Rahimy. Terjemah Hadis Sahih Muslim. Jakarta:
PA. Wijaya. 1986.
Adiwarman
A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih Dan Keuangan, Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada. 2004.
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta:
Pustaka Belajar. 2010.
Ghufron Ihsan, Fiqih Muamalat. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group. 2010.
Hassan
Saleh, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada. 2008.
Kuat Ismanto, Asuransi Syari’ah, Yogyakarta: Pustaka
Belajar. 2009.
Musthofa
Hadna, Ayo Mengkaji Fiqih untuk Madrasah Aliyah Kelas X, Jakarta:
Penerbit Erlangga. 2011.
Sapiudin Shidiq, Fiqih Muamalat, Jakarta: Prenada Media
Group. 2010.
[1]Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada.2008.hlm.399.
[2]Musthofa Hadna, Ayo Mengkaji Fiqih untuk Madrasah Aliyah Kelas X, Jakarta:
PT Gelora Aksara Pratama. 2011.hlm.145.
[4]Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih Dan Keuangan, Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada. 2004.hlm. 345.
[6] Sapiudin Shidiq, Fiqih Muamalat, Jakarta: Prenada Media Group.
2010. Hlm. 235.
[7] Kuat Ismanto, Asuransi Syar’iah,Yogyakarta: Pustaka Belajar.
2009. Hlm. 40.
[8] Ghufron Ihsan, Fiqih Muamalat. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group. 2010. Hlm. 241.
[9] Kuat Ismanto, Asuransi Syari’ah, Yogyakarta: Pustaka Belajar.
2009. Hlm. 176.
[10]Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta:
Pustaka Belajar.2010.hlm. 195.
[11] Abdul Syukur Rahimy. Terjemah Hadis Sahih Muslim. Jakarta: PA.
Wijaya. 1986. Hlm. 183.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar